Menggerakam
Tim Penyidik Kesenian Popouler
Pada
tahun 2004, Penerbit Buku Kompas menerbitkan dua buku yang mendapat perhatian
tim pendidikkan kesenian populer. Buku pertama karya John Gawa, Kebijakan dalam 1001Pantun, Wisdom in 1001
Pantun. John Gawa adalah guru bahasa dan kesusasteraan untuk siswa/i
sekolah menengah atas di Darwin, Australia. Dia mencoba ‘mensosialisasikan’
kegiatan berpantun ria, cermin dari model komunikasi publik di tanah air, yang
terlalu banyak ‘sampiran’ (gossip di media) daripada content dan substansi. Pada bulan Juli 2005 dalam Pertemuan
Nasional Guru-guru Bahasa Indonesia se-Australia di Perth, yang didukung
sepenuhnya oleh Konsul RI, Dr,L.Madja, John Gawa memperkenalkannya kepada
sekitar 400.000 an ak-anak Australia.
Eka meresensi buku tersebut di Pusat Loka,Kompas, Maret
2005. Dalam buku terbarunya, Senyum untuk
Calon Penulis, dimuat pula resensi karya John Gawa itu. Eka menghargai
senorang Guru SMA di Australia, yang menjadi “duta kebudayaan” Indonesia di
Australia.
Buku kedua, Komponen esai Iwan Simatupang, Oyon
Sofyan&Frans Parera (editor) , Kebebasan
Pengarang dan Masalah Tanah Air, Esei-Esei Iwan Simatupang. Buku ini
dibahas secara khusus oleh Meja Budaya di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, Desember 2004. Ada kesamaan antara John Gawa
dan Iwan Simatupang, almarhum. Mereka adalah guru-guru SMA di bidang bahasa dan
kesusasteraan Bahasa dan Kesusateraan menjadi sebuah model pendidikan seni
kepada anak-anak muda yang sudah dipengaruhi Pop Culture.
Tugas guru seni
di SMA adalah mempersiapkan anak-anak dari status mereka sebagai konsumen, user
produk pop culture seperti produk musik populer, media massa, puisi, cerpen,
novel, biografi dengan jaringan distribusinya seperti sekolah, perpustakaan,
toko buku keagenan segala macam prosuk. Tidak cukup hanya sebagai user,
konsumen. Guru seni harus berusaha seperti guru-guru sekolah kejuruan (SMK dan
sebagainya), seperti dosen-dosen politeknik, agar siswa mengalami proses
transformasi dalam praksis pendidikan kesenian yang kontemporer, yakni dari
user ke praksis seni model do-it-your
self.
Ketika Iwan Simatupang mengajar Satyagraha Hoerip dan
kawan-kawannya dalam kejuruan seni sastra hingga dia berkembang menjadi
cerpenis terkemuka di tanah air, pada saat itu John Gawa, saya (termasuk Ignas
Kleden, Daniel Dhakidae, Dami N.Toda) masih di Sekolah Dasar. Ayah saya seorang
guru Sekolah Rakyat berbakat musik secara alamiah dan sudah menerapkan praksis
kesenian dan user menjadi do-it-yourself. Ahli kurikulum lokal di Flores sudah
mempunyai strategi menghadapi pop culture yang sudah melanda Indonesia pada
waktu itu. Iwan melukiskan pengaruh besar pop
culture pada tahun lima puluhan sebagai berikut :
Solidaritas keindonesiaan yang mereka alami ketika mereka
yang berbeda-beda, agama, suku aliran kepercayaan serta profesi dalam dekade
empat puluhan menjadi ikatan persaudaraan baru, kini semakin surut dalam
perjuangan mencari nafkahsendiri-sendiriketika dapur umum dan dalam keadaan
darurat perang sudah tidak berfungsi lagi, diganti dengan dapur di rumah
kediaman masing-masing. Solidaritas keindonesiaan diganti dengan solidaritas
primordial demi mendapat nafkah dan sesuap nasi di tengah situasi ekonomi yang
tidak menentu ketika itu. Lagu-lagu perjuangan sudah tidak sering dinyanyikan
lagi karena anak-anak muda ala Barat di tempat-tempat hiburan dan rekreasi.
Barisan anak muda tidak lagi mencari pengalaman hidup di kantor administrasi
birokrasi pemerintah atau di perusahaan atau menjadi wiraswasta di pasar-pasar
resmi atau pasar gelap.
Tren anak-anak muda sekolah menjadi konsumen atau user
produk teknologi tidak terbendung. Tetapi di Flores, ketika pelajaran musik
atau seni musik akan diberikan di Sekolah Dasar, maka apakah yang diinstrusikan
guru-guru pendidikan dasar kepada anak-anak kecil itu? Guru-guru sudah
menerapkan praksis pendidikan kesenian model do-it-yorself, sehingga ketika
mereka sudah besar dan berpengaruh akan melanjutkan ortopraksis kesenian sesuai
dengan semangat demokrasi, semangat liberalisasi, semangat open society, semangat
knowing our neighbour. Ortopraksis kesenian industrial adalah perpaduan yang
indah dari kemampuan tangan (ketrempalian fisik) dan kemam puan concept design (inspirasi, content,
format dan daya provokasi serta sugestinya kepada user, konsumen produk seni).
Ktika guru seni merencanakan sebuah orkes suling yang
akan dipentaskan di sekolah dan ditengah masyarakat, maka diterapkan model
pedagogi dan didaktik seni seperti dipraktekkan di Amerika dalam mata pelajaran
Industrial Arts. Anak-anak dilibatkan
dalam persiapan awal pembuatan instrumen musik sesuai pentunjuk buku pintar
teknologi instrumen musik. Lalu masuk ke pengalaman estetis musik, berakhir
dengan pengalaman pementasan dengan audien yang banyak. Evaluasi dari audien
menjadi pengalaman pendidikan yang sangat berarti.
Guru menyuruh anak pergi ke hutan memotong bulu dan bambu
untuk dibawa ke sekolah. Kemudian instrumen bulu itu dikerjakan sehingga
sekolah berubah menjadi manufaktur instrumen musik dan guru-guru berubah
menjadi produsen instrumen musik bersama tim kerjanya yakni murid-muridnya.
Sesudah selesai pekerjaan manufaktur, sekolah berubah menjadi konservatorium
musik dan guru-guru berubah menjadi instuktur-instruktur musik dengan
ketrampilan permainan musik yang mengagumkan. Sesudah proses konservatorium
maka sekolah berubah menjadi pangggung kesenian, teater pementasan.
Guru-guru menjadi manajer, event organizer atau konduktor dari sebuah orkestra dengan musik
bulu dan bambu. Sesudah proses itu maka guru seni dan murid-murid menjadi duta
kesenian berkeliling ke sekitarnya, sehingga masyarakat berubah menjadi
konsumen, audien. Anak-anak dan guru menjadi pusat perhatian di
panggung-panggung pertunjukan. Selesai pertunjukan sekolah berubah menjadi
komunitas reflektif untuk mengevaluasi
menurut kemampuan bagaimana pelajaran seni yang lebih baik dan bermutu
dengan keterbatasan segala maacamteknis dan manajerialnya.
Luar biasa. Kurikulum seni pada tahun 50-an yang
dirancang oleh pendidik seni yang tahu membedakan seni untuk seni dan seni
untuk industri hiburan, industri kesehatan dan industri pendidikan itu sendiri.
Semua pengalaman pendidikan seni model do-it-yourself
sudah diperjuangkan oleh guru seni sekolah menengah model Iwan Simatupang di
Surabaya dan John Gawa di Darwin. Pantun juga bisa diciptakan model
do-it-yourself . Sudah selama sepuluh tahun ketika saya menjadi dosen
Politeknik Program Grafika dan Penerbitan, pengalam ortopraksis pendidikan seni
yang saya alami di SD Flores coba saya terapkan di Kampus Politeknik. Karena
gerakan seni dari pop culture sekarang juga berasal dari industri grafika
dengan proses pre-press, press, dan post press. Pendekatan artistik inheren
dengan kebudayaan popular di seluruh dunia sekarang ini. Semua peristiwa
kesenian itu sudah terjadi pada tahun 2004.
Lalu Eka memberi saya beberapa buku karya-karya
tebarunya. Sangat mengherankan saya, disatu pihak tidak ada lagi karya-karya
dia sebagai seorang penyair yang mendapat penghargaan tingkat nasional dan
tingkat internasional. Tetapi juga sangat menyenangkan bahwa Eka bergulat
dengan tren pop culture dengan misi pedagogi yang mulia, dengan semangat “do it yourself” – kerjakan sendiri!
Dia ingin masuk dan berkontribusi dalam gerakan
pendidikan seni dari dunia pop culture. Dia berpengalamannya bekerja di industri
kata-kata seperti wartawan, penulis, buku. Disana hati nurani masih sangat
diperlukan untuk memasuki sebuah dunia peradaban dan kebudayaan post-modem.
Pada satu pihak ingin mempertahankan tradisi seni dari para geniud seni model
Leonardo da Vinci dan pengikut-pengikutnya. Tetapi pada saat yang sama, tidak
dapat dihindari bahwa manusia modern membutuhkan lapangan kerja dengan etos
kerjanya; membutuhkan asuransi dan jaminan masa depannya seperti ditawarkan
oleh dunia kelembagaan keuangan dengan pesona depositonya.
Model Leonardo da Vinci sudah tidak memadai bagi orang
modern dengan bakat seni setengah-setengah. Tetapi bakat yang moderat itu masih
menatik para Maecenas untuk melindungi seniman di tengah habitat seperti Taman
Ismail Marzuki. Kebebasannya sangat tergantung pada keuangan birokrasi penguasa
setempat, sepertigelandangan diberi baju yang tetapi masa depannya sulit
diramalkan.
Pejuang
Legitimasi Pop Culture
Salah
satu puncak dari pop culture model Eka adalah wujud penulis-penulis meteorit.
Karakter meteor sebagai benda-benda angkasa adalah hasil benturan antara
benda-benda angkasa, yang kesibukannya adalah bergerak terus-menerus dengan
kecepatan sangat tinggi. Hasilnya adalah benturan menjadi api, cahaya,
kepanasan tetapi juga kekuatan yang dicapai dari kecepatan bergerak. Daya
dobraknya menjadi dahsyat.
Di
tengah kehidupan rutin secara publik akhir-akhir ini, konsumen produk Industrial Arts seperti buku dengan
industri bukunya, merasakan dampak dari karya seorang pengarang untuk melakukan
sebuah perjalanan imajiner yang mirip dengan perjalanan yang dikelola industri
turisme dewasa ini. Bila dalam petualangan di alam riil kita mengalami tiga
jenis pengalaman kemerdekaan dan kebebasan, yakni pengalaman rekreatif,
pengalaman soprtif (kesehatan, karena berganti suasana) dan pengalaman
informatif dan edukatif atau transkultural,maka penulis fiksi dan non-fiksi
perlu berlatih menulis untuk memberikan pengalaman imajiner seperti pengalaman
perjalanan turisme ke seluruh dunia.
Pengalaman
imajiner menjadi penting seperti kesaksian Eka sendiri yang kini tengah
mencapai dan menggapai status dirinya ke arah perfectio, manusia paripurna
karena dibekali hati nurani. Penalaman imajiner dikelola menjadi sebuah gerakan
seni sebagai hiburan sehat. Penguatan moralitas menjadi perjuangan baru karena
dipenetrasi pesona modal, uang dengan segala daya tarik kekayaannya dan juga
iman dan takwa. Religiusitas berdasarkan kecerdasan, kearifan dan kehati-hatian
melalui jalan kesenian. Kitab suci pada dasarnya adalah kitab kesenian.
Ketika
saya melihat Eka Budianta tampil di TVRI, 3 Desember 2005dalam mimbar agama
katolik, dia juga mengukuhkan dirinya sebagai guru seni yang berperan menuju
gerbang moral, etika dan gerbang iman dan takwa. Itulah pelataran surga.
Sebagai penerus perjuangan Iwan Simatupang maka kuburan perlu mendapat iman dan
brand baru. Bukan penghuni roh-roh jahat yang datang untuk menakuti-nakuti
manusia yanng masih antre dalam barisan menunggu maut. Tetapi tempat manusia di
dunia merumuskan kembali siapakah dia sebenarnya. Rumusan yang perlu menjadi
masukan untuk kegiatan teolgi dari agama apa saja. Heidegger sudah merumuskan
ditengah kuburan raksasa Eropa pada Perang Dunia I dan II serta negara-negara
bekas kolonial juga sama nasibnya sebagai kuburan dari manusia yang terlalu
cepat mati daripada berusia panjang. Manusia adalah makhluk yang lahir untuk
mati.
Mudah-mudahan
pop culture menjadi wadah humaniora baru yang belajar dari meteor di langit,
belajar suara dari alam, dari badai bahkan dari bisikan hati nurani, belajar
dari pengelola keuangan dan kekayaan masyarakat. Semuanya bergerak menuju
kuburan. Kuburan bukan hanya pelataran memasuki neraka dengan segala praktek
kekrasan dan siksaannya, tetapi kuburan sebagai pelataran surga yang sudah
bergema nyanyian para malaikat dan orang-orang kudus, mensyukuri kebesaran
ilahi.
Selamat
HUT ke-50 Mas Eka, saudara dan sahabatku. Jadilah guru seni, guru hatinurani
dan guru iman dan takwa, karena digetarkan oleh musik surgawi penuh syukur dan
pujian. Ke sana ada kepastian yakni kita hanya punya satu tanah air di tengah
tanah air bohong-bohongan dengan moto muatan lokalnyayang palsu dan
diskriminatif.
Frans Parera,
Penyunting
buku, pemimpin penerbitan Grasindo
Tinggal
di Pondok Pinang, Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar