Smashed Pink Can

Sabtu, 09 Januari 2016

MENGGERAKKAN TIM PENYIDIK KESENIAN POPULER



Menggerakam Tim Penyidik  Kesenian Popouler

Pada tahun 2004, Penerbit Buku Kompas menerbitkan dua buku yang mendapat perhatian tim pendidikkan kesenian populer. Buku pertama karya John Gawa, Kebijakan dalam 1001Pantun, Wisdom in 1001 Pantun. John Gawa adalah guru bahasa dan kesusasteraan untuk siswa/i sekolah menengah atas di Darwin, Australia. Dia mencoba ‘mensosialisasikan’ kegiatan berpantun ria, cermin dari model komunikasi publik di tanah air, yang terlalu banyak ‘sampiran’ (gossip di media) daripada content dan substansi. Pada bulan Juli 2005 dalam Pertemuan Nasional Guru-guru Bahasa Indonesia se-Australia di Perth, yang didukung sepenuhnya oleh Konsul RI, Dr,L.Madja, John Gawa memperkenalkannya kepada sekitar 400.000 an ak-anak Australia.
            Eka meresensi buku tersebut di Pusat Loka,Kompas, Maret 2005. Dalam buku terbarunya, Senyum untuk Calon Penulis, dimuat pula resensi karya John Gawa itu. Eka menghargai senorang Guru SMA di Australia, yang menjadi “duta kebudayaan” Indonesia di Australia.
            Buku kedua, Komponen esai Iwan Simatupang, Oyon Sofyan&Frans Parera (editor) , Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air, Esei-Esei Iwan Simatupang. Buku ini dibahas secara khusus oleh Meja Budaya di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin,  Desember 2004. Ada kesamaan antara John Gawa dan Iwan Simatupang, almarhum. Mereka adalah guru-guru SMA di bidang bahasa dan kesusasteraan Bahasa dan Kesusateraan menjadi sebuah model pendidikan seni kepada anak-anak muda yang sudah dipengaruhi Pop Culture.
            Tugas guru seni di SMA adalah mempersiapkan anak-anak dari status mereka sebagai konsumen, user produk pop culture seperti produk musik populer, media massa, puisi, cerpen, novel, biografi dengan jaringan distribusinya seperti sekolah, perpustakaan, toko buku keagenan segala macam prosuk. Tidak cukup hanya sebagai user, konsumen. Guru seni harus berusaha seperti guru-guru sekolah kejuruan (SMK dan sebagainya), seperti dosen-dosen politeknik, agar siswa mengalami proses transformasi dalam praksis pendidikan kesenian yang kontemporer, yakni dari user ke praksis seni model do-it-your self.
            Ketika Iwan Simatupang mengajar Satyagraha Hoerip dan kawan-kawannya dalam kejuruan seni sastra hingga dia berkembang menjadi cerpenis terkemuka di tanah air, pada saat itu John Gawa, saya (termasuk Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Dami N.Toda) masih di Sekolah Dasar. Ayah saya seorang guru Sekolah Rakyat berbakat musik secara alamiah dan sudah menerapkan praksis kesenian dan user menjadi do-it-yourself. Ahli kurikulum lokal di Flores sudah mempunyai strategi menghadapi pop culture yang sudah melanda Indonesia pada waktu itu. Iwan melukiskan pengaruh besar pop culture pada tahun lima puluhan sebagai berikut :
            Solidaritas keindonesiaan yang mereka alami ketika mereka yang berbeda-beda, agama, suku aliran kepercayaan serta profesi dalam dekade empat puluhan menjadi ikatan persaudaraan baru, kini semakin surut dalam perjuangan mencari nafkahsendiri-sendiriketika dapur umum dan dalam keadaan darurat perang sudah tidak berfungsi lagi, diganti dengan dapur di rumah kediaman masing-masing. Solidaritas keindonesiaan diganti dengan solidaritas primordial demi mendapat nafkah dan sesuap nasi di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu ketika itu. Lagu-lagu perjuangan sudah tidak sering dinyanyikan lagi karena anak-anak muda ala Barat di tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Barisan anak muda tidak lagi mencari pengalaman hidup di kantor administrasi birokrasi pemerintah atau di perusahaan atau menjadi wiraswasta di pasar-pasar resmi atau pasar gelap.
            Tren anak-anak muda sekolah menjadi konsumen atau user produk teknologi tidak terbendung. Tetapi di Flores, ketika pelajaran musik atau seni musik akan diberikan di Sekolah Dasar, maka apakah yang diinstrusikan guru-guru pendidikan dasar kepada anak-anak kecil itu? Guru-guru sudah menerapkan praksis pendidikan kesenian model do-it-yorself, sehingga ketika mereka sudah besar dan berpengaruh akan melanjutkan ortopraksis kesenian sesuai dengan semangat demokrasi, semangat liberalisasi, semangat open society,  semangat knowing our neighbour. Ortopraksis kesenian industrial adalah perpaduan yang indah dari kemampuan tangan (ketrempalian fisik) dan kemam puan concept design (inspirasi, content, format dan daya provokasi serta sugestinya kepada user, konsumen produk seni).
            Ktika guru seni merencanakan sebuah orkes suling yang akan dipentaskan di sekolah dan ditengah masyarakat, maka diterapkan model pedagogi dan didaktik seni seperti dipraktekkan di Amerika dalam mata pelajaran Industrial Arts. Anak-anak dilibatkan dalam persiapan awal pembuatan instrumen musik sesuai pentunjuk buku pintar teknologi instrumen musik. Lalu masuk ke pengalaman estetis musik, berakhir dengan pengalaman pementasan dengan audien yang banyak. Evaluasi dari audien menjadi pengalaman pendidikan yang sangat berarti.
            Guru menyuruh anak pergi ke hutan memotong bulu dan bambu untuk dibawa ke sekolah. Kemudian instrumen bulu itu dikerjakan sehingga sekolah berubah menjadi manufaktur instrumen musik dan guru-guru berubah menjadi produsen instrumen musik bersama tim kerjanya yakni murid-muridnya. Sesudah selesai pekerjaan manufaktur, sekolah berubah menjadi konservatorium musik dan guru-guru berubah menjadi instuktur-instruktur musik dengan ketrampilan permainan musik yang mengagumkan. Sesudah proses konservatorium maka sekolah berubah menjadi pangggung kesenian, teater pementasan.
            Guru-guru menjadi manajer, event organizer atau konduktor dari sebuah orkestra dengan musik bulu dan bambu. Sesudah proses itu maka guru seni dan murid-murid menjadi duta kesenian berkeliling ke sekitarnya, sehingga masyarakat berubah menjadi konsumen, audien. Anak-anak dan guru menjadi pusat perhatian di panggung-panggung pertunjukan. Selesai pertunjukan sekolah berubah menjadi komunitas reflektif untuk mengevaluasi  menurut kemampuan bagaimana pelajaran seni yang lebih baik dan bermutu dengan keterbatasan segala maacamteknis dan manajerialnya.
            Luar biasa. Kurikulum seni pada tahun 50-an yang dirancang oleh pendidik seni yang tahu membedakan seni untuk seni dan seni untuk industri hiburan, industri kesehatan dan industri pendidikan itu sendiri.
            Semua pengalaman pendidikan seni model do-it-yourself sudah diperjuangkan oleh guru seni sekolah menengah model Iwan Simatupang di Surabaya dan John Gawa di Darwin. Pantun juga bisa diciptakan model do-it-yourself . Sudah selama sepuluh tahun ketika saya menjadi dosen Politeknik Program Grafika dan Penerbitan, pengalam ortopraksis pendidikan seni yang saya alami di SD Flores coba saya terapkan di Kampus Politeknik. Karena gerakan seni dari pop culture sekarang juga berasal dari industri grafika dengan proses pre-press, press, dan post press. Pendekatan artistik inheren dengan kebudayaan popular di seluruh dunia sekarang ini. Semua peristiwa kesenian itu sudah terjadi pada tahun 2004.
            Lalu Eka memberi saya beberapa buku karya-karya tebarunya. Sangat mengherankan saya, disatu pihak tidak ada lagi karya-karya dia sebagai seorang penyair yang mendapat penghargaan tingkat nasional dan tingkat internasional. Tetapi juga sangat menyenangkan bahwa Eka bergulat dengan tren pop culture dengan misi pedagogi yang mulia, dengan semangat “do it yourself” – kerjakan sendiri!
            Dia ingin masuk dan berkontribusi dalam gerakan pendidikan seni dari dunia pop culture. Dia berpengalamannya bekerja di industri kata-kata seperti wartawan, penulis, buku. Disana hati nurani masih sangat diperlukan untuk memasuki sebuah dunia peradaban dan kebudayaan post-modem. Pada satu pihak ingin mempertahankan tradisi seni dari para geniud seni model Leonardo da Vinci dan pengikut-pengikutnya. Tetapi pada saat yang sama, tidak dapat dihindari bahwa manusia modern membutuhkan lapangan kerja dengan etos kerjanya; membutuhkan asuransi dan jaminan masa depannya seperti ditawarkan oleh dunia kelembagaan keuangan dengan pesona depositonya.
            Model Leonardo da Vinci sudah tidak memadai bagi orang modern dengan bakat seni setengah-setengah. Tetapi bakat yang moderat itu masih menatik para Maecenas untuk melindungi seniman di tengah habitat seperti Taman Ismail Marzuki. Kebebasannya sangat tergantung pada keuangan birokrasi penguasa setempat, sepertigelandangan diberi baju yang tetapi masa depannya sulit diramalkan.

Pejuang Legitimasi Pop Culture
Salah satu puncak dari pop culture model Eka adalah wujud penulis-penulis meteorit. Karakter meteor sebagai benda-benda angkasa adalah hasil benturan antara benda-benda angkasa, yang kesibukannya adalah bergerak terus-menerus dengan kecepatan sangat tinggi. Hasilnya adalah benturan menjadi api, cahaya, kepanasan tetapi juga kekuatan yang dicapai dari kecepatan bergerak. Daya dobraknya menjadi dahsyat.
Di tengah kehidupan rutin secara publik akhir-akhir ini, konsumen produk Industrial Arts seperti buku dengan industri bukunya, merasakan dampak dari karya seorang pengarang untuk melakukan sebuah perjalanan imajiner yang mirip dengan perjalanan yang dikelola industri turisme dewasa ini. Bila dalam petualangan di alam riil kita mengalami tiga jenis pengalaman kemerdekaan dan kebebasan, yakni pengalaman rekreatif, pengalaman soprtif (kesehatan, karena berganti suasana) dan pengalaman informatif dan edukatif atau transkultural,maka penulis fiksi dan non-fiksi perlu berlatih menulis untuk memberikan pengalaman imajiner seperti pengalaman perjalanan turisme ke seluruh dunia.
Pengalaman imajiner menjadi penting seperti kesaksian Eka sendiri yang kini tengah mencapai dan menggapai status dirinya ke arah perfectio, manusia paripurna karena dibekali hati nurani. Penalaman imajiner dikelola menjadi sebuah gerakan seni sebagai hiburan sehat. Penguatan moralitas menjadi perjuangan baru karena dipenetrasi pesona modal, uang dengan segala daya tarik kekayaannya dan juga iman dan takwa. Religiusitas berdasarkan kecerdasan, kearifan dan kehati-hatian melalui jalan kesenian. Kitab suci pada dasarnya adalah kitab kesenian.
Ketika saya melihat Eka Budianta tampil di TVRI, 3 Desember 2005dalam mimbar agama katolik, dia juga mengukuhkan dirinya sebagai guru seni yang berperan menuju gerbang moral, etika dan gerbang iman dan takwa. Itulah pelataran surga. Sebagai penerus perjuangan Iwan Simatupang maka kuburan perlu mendapat iman dan brand baru. Bukan penghuni roh-roh jahat yang datang untuk menakuti-nakuti manusia yanng masih antre dalam barisan menunggu maut. Tetapi tempat manusia di dunia merumuskan kembali siapakah dia sebenarnya. Rumusan yang perlu menjadi masukan untuk kegiatan teolgi dari agama apa saja. Heidegger sudah merumuskan ditengah kuburan raksasa Eropa pada Perang Dunia I dan II serta negara-negara bekas kolonial juga sama nasibnya sebagai kuburan dari manusia yang terlalu cepat mati daripada berusia panjang. Manusia adalah makhluk yang lahir untuk mati.
Mudah-mudahan pop culture menjadi wadah humaniora baru yang belajar dari meteor di langit, belajar suara dari alam, dari badai bahkan dari bisikan hati nurani, belajar dari pengelola keuangan dan kekayaan masyarakat. Semuanya bergerak menuju kuburan. Kuburan bukan hanya pelataran memasuki neraka dengan segala praktek kekrasan dan siksaannya, tetapi kuburan sebagai pelataran surga yang sudah bergema nyanyian para malaikat dan orang-orang kudus, mensyukuri kebesaran ilahi.
Selamat HUT ke-50 Mas Eka, saudara dan sahabatku. Jadilah guru seni, guru hatinurani dan guru iman dan takwa, karena digetarkan oleh musik surgawi penuh syukur dan pujian. Ke sana ada kepastian yakni kita hanya punya satu tanah air di tengah tanah air bohong-bohongan dengan moto muatan lokalnyayang palsu dan diskriminatif.

Frans Parera,
Penyunting buku, pemimpin penerbitan Grasindo
Tinggal di Pondok Pinang, Jakarta Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar