Tugu Proklamasi atau Tugu
petir adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Tugu Proklamasi
berdiri di tanah lapang kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi (dahulunya
disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56), Jakarta Pusat. Pada kompleks juga
terdapat monumen dua patung Soekarno-Hatta berukuran besar yang berdiri
berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali
dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah
proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan
bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya.
Setelah era reformasi, selain menjadi
tempat yang spesial untuk acara peringatan Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya,
lokasi ini pun menjadi tempat pilihan bagi berkumpulnya para demonstran untuk
menyuarakan pendapat-pendapatnya.
Lain halnya ketika sore menjelang. Pada
hari-hari yang biasa, para penduduk yang tinggal tak jauh dari lingkungan taman
ini kerap berkunjung ke Tugu Proklamasi untuk berbagai aktivitas. Tempat ini
menjadi tempat favorit anak-anak bermain, arena berolahraga, tempat berkumpul
dan bertemu, atau hanya untuk duduk-duduk saja menghabiskan sore hingga senja
datang.
Naskah Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan untuk
pertama kalinya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman
kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah
ini, yang dulu disebut "Gedung Proklamasi", sudah tidak ada lagi
sejak tahun 1960, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus
Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah
bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.
Di lokasi ini Presiden Soekarno pada
tanggal 1 Januari 1961 melakukan
pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang
kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala
lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan
yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung
Hatta".
Sekitar 50 meter di belakang tugu ini
dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan "Pembangunan Nasional
Semesta Berencana". Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut.
Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.
Di antara bangunan yang terdapat di
lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia"[1] yang langsung
terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 pada masa Sekutu masih berkuasa.
Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas
Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah
proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang
Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api
berkobar.
Kisah tugu ini diceritakan oleh sang
pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku "19 Desember 1948 Perang
Gerilya Perang Rakyat Semesta", hasil wawancara dengan Titiek WS.
Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi
anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat
tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari
dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali
disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar,
mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang
Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.
Pada menjelang peresmian, ada hambatan
karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang
peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr
Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan
terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).
Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di
Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya.
Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik,
tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan
Sjahrir.
Peristiwa mengejutkan terjadi
tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan
agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu Linggarjati" harus
dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi
pada 10 November 1946, tiga bulan setelah
tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya
kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.
Bersama sejumlah tokoh wanita, antara
lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di
Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer
yang tadinya melekat di tugu Linggarjati. Atas saran para wanita yang hadir,
lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.
Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan
usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif,
terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda
karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak
tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga
tinggi.
Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal,
dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah
mantan Wakil Presiden M. Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956).
Pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen
Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar